Minggu, 24 Juni 2012

IMPLEMENTASI ELEKTRONIK KARTU TANDA PENDUDUK (E-KTP) DI KECAMATAN KOTANOPAN KABUPATEN MANDAILING NATAL


1.        Latar Belakang
Saat ini seiring dengan berkembangnya tuntutan agar pelayanan administrasi yang diberikan oleh penyelenggara pemerintahan tersebut haruslah pelayanan yang prima yang mempunyai sistem pelayanan yang berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa dan dapat memberikan kepuasan kepada pengguna jasa tersebut sehingga dapat dikatakan penyelenggaraan pelayanan tersebut berhasil.
Bahwa ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan, kepuasan penerima pelayanan dicapai apabila penerima pelayanan dicapai memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan.[1]
Masyarakat dan pemerintah membutuhkan terjadinya suatu sistem keterkaitan dengan membentuk negara dan pemerintah yang mengatur masyarakat guna melayani kepentingan rakyat. Gagasan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat terus mengalami perubahan seiring meningkatnya tuntutan rakyat dan perlembagaan pemerintah itu sendiri, namun masih belum memuaskan dalam arti posisi masyarakat dan pemerintah sudah mulai menguntungkan dalam kerangka pelayanan.
Sebagaimana yang di amanatkan dalam undang-undang nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan bahwa pemerintah wajib memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada setiap penduduk Indonesia serta mencantumkannya dalam setiap dokumen kependudukan. Selanjutnya, penduduk indonesia juga wajib memiliki Katu Tanda Pendudu selanjutnya disingkat dengan (KTP). Karena KTP tersebut mempunyai spesifikasi dan format KTP Nasional dengan pengamanan khusus, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 26 tahun 2009.
Saat ini juga penerapan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dilatar belakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional di indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis sistem pelayanan terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh indonesia.
Dalam program penerapan e-KTP tersebut berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) nasional yang untuk digunakan sebagai identitas jati diri seseorang yang bersifat tunggal dengan demikian mempermudah penduduk ataupun masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari lembaga pemerintah maupun swasta karena tidak lagi memerlukan KTP setempat.
KTP ini juga wajib dimiliki bagi warga negara indonesia (WNI)  dan warga negara asing (WNA) yang memiliki izin tinggal tetap yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin atau telah kawin. KTP berlaku selama lima tahun dan tanggal berakhirnya disesuaikan dengan tanggal dan bulan lahirnya yang bersangkutan.
Sementara itu e-KTP merupakan kartu tanda penduduk yang baru saja diluncurkan oleh pemerintah yang salah satu tujuannya untuk mengurangi kerangkapan data dan digencarkan untuk mencegah teoritis. Selain itu e-KTP mempunyai kelebihan dengan yang terdahulu, karena e-KTP belum lama diluncurkan dan peralatannya masih terbatas serta sosialisasinya yang kurang maka belum semua daerah bisa mendapatkan e-KTP tersebut.
Maka untuk menjelaskan masalah ini dengan mendalam, maka penulis melakukan penelitian dengan judul : “Implementasi Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) Di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing  Natal”.  
2.        Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah implementasi elektronik kartu tanda penduduk (e-KTP) di Kecamatan Kotanopan ?
2.      Bagaimanakah peluncuran e-KTP di Kecamatan Kotanopan berlangsung ?
3.        Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui implementasi e-KTP di Kecamatan Kotanopan.
2.    Untuk mengetahui peralatan apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan  e-KTP di Kecamatan Kotanopan.
4.        Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.    Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai masalah pemerintahan tentang implementasi Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) di Kecamatan Kotanopan.
2.    Bagi program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, hasil penelitian ini dapat melengkapi ragam penelitian yang sudah ada dan sebagai tambahan bacaan dan referensi.

5.        Kerangka Teori
5.1    Pengertian  Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP)
“Elektronik Kartu tanda penduduk adalah (e-KTP)  adalah suatu kartu tanda penduduk yang dibuat dari mesin elektronik dan ditulis dengan data digital”.[2]
e-KTP ini sengaja di adakan untuk mempermudah pemerintah untuk mengambil data penduduk, karena dengan e-KTP pemerintah bisa langsung melihat data dari KTP elektronik tersebut tanpa harus menunggu data yang harus disensus terlebih dahulu.
Fungsi e-KTP sebagai berikut :
1.      Sebagai identitas diri.
2.      Berlaku nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin rekening ke bank dan sebagainya.
3.      Mencegah KTP ganda dan  pemalsuan KTP.
5.2     Pelayanan Publik
5.2.1   Pelayanan
Pelayanan publik adalah serangkaian kata atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain secara lebih memuaskan berupa produk jasa dengan sejumlah ciri seperti tidak berwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki, dan pelanggan lebih cepat berpartisifasi dalam proses mengkonsumsi data.[3]
Sedangkan Dr. Paimin Napitupulu, M.Si mendefenisikan bahwa pelayanan adalah “suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain”.[4]
 5.2.2    Pelayanan Publik
Sebagaimana telah dikemukakan terlebih dahulu bahwa pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Dan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk meleyani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampaun dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karena birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
“Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.[5]
Pelayanan publik ini dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu dengan aturan pokok dengan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, dan tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik.
 5.3   Pengertian Implementasi
Menurut Wayne Persons “implementasi adalah sebuah proses interaksi antara penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan”.[6]
Begitu juga menurut Oemar Hamalik “implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam bentuk tindakan praktis sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap”.[7]
6.    Metode Penelitian
6. 1   Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kantor Camat Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal.
6. 2   Bentuk Penelitian
Adapaun bentuk penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan penedekatan analisa deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan kenyataan yang penulis teliti sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjalankan informasi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, yang dihubungkan dengan pemecahan masalah yang baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.
6. 3   Populasi dan Sampel
6. 3.1  Populasi
Populasi menurut para ahli mendefenisikan antara lain menurut Sugiono: “populasi adalah wilayah generalisai yang terdiri atas objek/subyek yang mempunyai kualitas dan kerakteristik tertentu yang ditetapkan yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.[8]
“Menurut Hadari Nawawi populasi adalah sekelompok subyek, baik manusia, gejala, nilai test, benda-benda ataupun peristiwa.”.[9] Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Huta Baringin Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal yaitu sebanyak 285 orang.
6. 3.2   Sampel
Sampel adalah bagian dari sejumlah dan kerakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.  Menurut Suharsimi Arikunto mendefenisikan bahwa “sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti”.[10]
Teknik sampel yang digunakan adalah random sampling yang dirumuskan Issac dan Micheal dengan menggunakan tingkat kesalahan 10%, untuk itu sampel di ambil dari sampel berjumlah 75 orang.
        
Dimana :
n  :  Sampel
N :  Populasi
d  :  Derajat kebebasan

6.4   Teknik Pengumpulan Data     
Teknik pengumpulan data yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah : sebagai berikut:
6.4.1  Pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian yang langsung terjun ke lokasi penelitian untuk mencari data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hal ini dilakukan melalui wawancara kepada responden.
6.4.2 Pengumpulan data skunder, yaitu diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dimana dilakukan dengan mempelajari sejumlah tulisan, buku-buku karangan ilmiah dan dan data yang dipeoleh dengan melakukan studi lapangan.



6.5  Teknik Analisa Data
Untuk menganalisa data-data yang diperoleh dari lapangan berdasarkan wawancara akan digunakan analisa tabel tunggal yang disebut tabel frekuensi . Analisa tabel ini dimaksudkan untuk merinci data-data sekaligus mengajukan presentase dari masing –masing jawaban responden sehingga akan dapat diketahui data-data yang paling dominan atau data yang paling besar presentasenya.





[1] Ratminto & Atunarsih, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 21.
[3] Paimin Napitupulu, Pelayanan Publik, PT. Alumni, Bandung, 2007, hal.164
[4] Ibid
[5] Ratminto & Atik Winarsih, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2005, hal. 18
[6] Wayne Persons, Public Policy, Pranada Media Group,  Jakarta, 2006, hal.446
[7] Oemar Hamalik, Dasar-dasar pengembangan Kurikulum, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung,  2009, hal. 237.
[8] Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 90
[9] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah MadaYogyakarta, 2007, hal. 150
[10] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Praktek, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002, hal.109.
>Faktor-faktor terbentuknya pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya seperti kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian di dalam kerabat pimpinan masyarakat serta pemilikan harta antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain mempunyai alasan yang berbeda-beda sebagai bentuk pelapisan sosial. Misalnya pada masyarakat yang hidup berburu binatang yang dijadikan alasan utama adalah kepandaian berburu hewan sedangkan pada masyarakat yang telah hidup menetap dan bercocok tanam dari para pembuka lahan yang asli dianggap sebagai golongan yang menduduki pelapisan yang lebih tinggi. Pada masyarakat yang taraf kehidupannya masih rendah pelapisan masyarakat mula-mula ditentukan dengan dasar perbedaan seksual (jenis kelamin). Perbedaan antara yang memimpin dengan yang dipimpin, golongan budak atau bukan budak, dapat juga berbeda karena kekayaan atau usia.



2.3.  Proses Terbentuknya Pelapisan Sosial
Mengenai pelapisan sosial yang sengaja disusun untuk mengejar kepentingan atau tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan yang resmi misalnya yang terjadi dalam perkumpulan-perkumpulan formal (seperti pemerintah, negara, perusahaan-perusahaan, partai politik atau perkumpulan profesi dan lain-lain. Untuk lebih memahami mengenai proses pembentukan pelapisan sosial ada beberapa pedoman yang dirumuskan oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi, Suatu Pengantar” sebagai berikut :
1.      Sistem pelapisan sosial mungkin berpokok kepada sistem pertentangan dalam masyarakat.
2.      Sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dianalisis di dalam ruang
lingkup :
a.       Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif.
b.      Sistem pertentangan yang diciptakan oleh para warga masyarakat (prestise dan penghargaan)
c.       Kriteria sistem pertentangan yaitu apakah didapat berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik wewenang dan kekuasaan.
d.      Lambang-lambang kedudukan misalnya tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi dan sebagainya.
e.       Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan.
f.       Solidaritas antara individu atau kelompok sosial yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat. (Drs. Taufik Rahman Dhohir, 2000)
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka hal itu merupakan bibit terbentuknya pelapisan sosial. Sesuatu yang dihargai itu dapat berupa uang atau harta benda, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Barang siapa yang dapat memiliki sesuatu yang dihargai tadi akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang menduduki pelapisan atas, sebaliknya mereka yang hanya sedikit memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dihargai tersebut mereka akan dianggap masyarakat sebagai orang-orang yang menempati pelapisan bawah atau berkedudukan rendah. Biasanya golongan yang menduduki pelapisan atau tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Penempatan orang-orang kedalam suatu pelapisan di dalam suatu pelapisan sosial bukanlah menggunakan ukuran yang tunggal melainkan bersifat kumulatif, artinya mereka yang misalnya mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. (Drs. Taufik Rahman Dhohir, 2000)

2.4.  Kriteria yang Dipakai untuk Menggolongkan Orang dalam Pelapisan
Ukuran atau kriteria yang dipakai untuk menggolongkan orang dalam pelapisan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Ukuran kekayaan, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
2.      Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi dalam pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
3.      Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
4.      Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial didalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitif. Oleh karena itu, masih ada ukuran lain yang dapat dipergunakan. Namun, ukuran di atas lah yang paling banyak digunakan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial. (Drs. Taufik Rahman Dhohir, 2000)

2.5.  Bentuk-bentuk Pelapisan Sosial dalam Masyarakat
Sedangkan bentuk pelapisan sosial di dalam masyarakat bentuknya berbeda-beda. Bentuk itu akan dipengaruhi oleh kriteria atau faktor apa yang dijadikan dasar pelapisan itu, kriteria ekonomi atau kriteria politik. Pelapisan pada kriteria ekonomi akan membedakan penduduk atau warga masyarakat menurut penguasaan dan pemilikan materi. Dalam hal ini ada golongan orang-orang yang didasarkan kepada pemilik tanah dan benda, ada golongan orang yang didasarkan kepada kegiatan ekonomi dan menggunakan kecakapan sehubungan hal ini. Pelapisan sosial yang didasarkan pada kriteria ekonomi, akan berkaitan dengan aktifitas pekerjaan pemilikan atau kedua-duanya dengan kata lain pendapatan kekayaan dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke dalam beberapa lapisan atau kelas ekonomi.
Setiap pelapisan dalam stratifikasi ekonomi disebut kelas-kelas ekonomi atau sering disebut kelas saja. Sehingga para warga masyarakat atau penduduk masyarakat dapat digolongkan ke dalam beberapa kelas ekonomi (economic class). Istilah kelas ekonomi mempunyai arti yang relatif sama dengan istilah kelas sosial (social class) hanya saja istilah kelas sosial lebih banyak dipakai untuk menunjukkan pelapisan sosial yang didasarkan atas kriteria sosial, seperti pendidikan atau pekerjaan namun kadang-kadang kelas-kelas sosial yang diartikan sebagai semua orang yang sadar akan kedudukannya di dalam suatu pelapisan tanpa membedakan apakah dasar pelapisan itu uang, pemilikan pekerjaan, kekuasaan atau yang lainnya. Dalam pembahasan ini kelas ekonomi akan disebut dengan kelas saja sehingga secara garis besar terdapat tiga kelas sosial, kelas atas, kelas menengah, kelas bawah.


Pelapisan sosial berdasarkan kriteria sosial, dengan memahami pelapisan masyarakat berdasarkan kriteria sosial orang akan mudah memahami peristiwa atau gejala-gejala yang terjadi di dalam masyarakat. Semua ini berhubungan dengan apa yang disebut prestise atau gengsi. Suatu pekerjaan bagi seseorang tidak sekedar berhubungan dengan berapa jumlah uang yang diterima sebagai gaji namun juga status sosial yang dinikmati melalui pekerjaan orang itu. Contoh seorang karyawan atau pegawai suatu departemen walau hanya duduk di ruang jaga setiap hari untuk membuat daftar nama tamu dan menerima kiriman surat serta barang melalui pos atau perusahaan jasa titipan, ia akan menikmati suatu status sosial yang lebih tinggi daripada seorang tukang becak yang biarpun mempunyai pendapatan yang lebih tinggi namun harus melakukan pekerjaan yang kurang bergengsi. Demikianlah pelapisan masyarakat yang didasarkan pada kriteria sosial akan berhubungan dengan status atau kedudukan seseorang dalam masyarakat.
Ralph Linton dalam bukunya yang berjudul The Study of Man menuliskan definisi status sebagai berikut : “In the abstract, is a particular pattern” artinya secara abstrak yaitu kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola hubungan sosial tertentu. (Selo Soemardjan, 1974 dan Soekanto, 1983)
Pelapisan sosial berdasarkan kriteria politik ialah pembedaan kedudukan atau warga masyarakat menurut pembagian kekuasaan. Sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial, kekuasaan berbeda dari kriteria lain yaitu ekonomi dan kedudukan sosial, apabila masyarakat menginginkan kehidupan yang teratur, maka kekuasaan yang ada padanya harus pula dibagi-bagi dengan teratur. Apabila kekuasaan tidak dibagi-bagi secara teratur, maka kemungkinan besar di dalam masyarakat akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.
Bentuk-bentuk kekuasaan pada berbagai masyarakat di dunia ini beraneka macam dengan masing-masing polanya, akan tetapi ada satu pola umum bahwa sistem kekuasaan akan selalu menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Garis batas ini menimbulkan pelapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yang didasarkan pada rasa kekhawatiran para warga masyarakat akan terjadinya disintegrasi masyarakat apabila tidak ada kekuasaan yang menguasainya. (Drs. Taufik Rahman Dhohir : 2000)



BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA


3.1.  Penyajian Data
Menurut Mac Iver, ada tiga pola umum sistem pelapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu tipe kasta, oligarkhis, dan demokratis.

A.     Tipe Kasta
Tipe kasta memiliki sistem pelapisan kekuasaan dengan garis pemisahan yang kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta yang hampir tidak dijumpai dalam gerak vertikal. Garis pemisah antara masing-masing pelapisan hampir tidak mungkin ditembus. Pada puncak piramida kekuasaan duduk penguasa tertinggi, misalnya : raja atau maharaja dengan lingkungannya yang didukung oleh kaum bangsawan, tentara, dan para pendeta. Lapisan kedua dihuni oleh para petani dan buruh tani, dan pelapisan terendah terdiri dari para budak.

B.     Oligarkhis
Tipe oligarkhis memiliki tipe pelapisan kekuasaan yang menggambarkan garis pemisah yang tegas diantaranya pelapisan akan tetapi perbedaan antara pelapisan satu dengan yang lain tidak begitu mencolok walaupun kedudukan para warga masyarakat masih banyak didasarkan kepada aspek kelahiran (ascribed status), akan tetapi kepada individu masih diberikan kesempatan untuk naik ke pelapisan yang lebih atas.
Kelas menengah mempunyai warga yang paling banyak seperti industri perdagangan dan keuangan memang peran yang lebih penting. Ada bermacam-macam cara bagi warga dari pelapisan bawah naik ke pelapisan yang lebih atas dan juga ada kesempatan bagi warga kelas menengah untuk menjadi penguasa. Suatu variasi dari tipe oligarkhis ini adalah pelapisan yang terdapat pada negara yang didasarkan pada fasisme atau juga negara totaliter. Hanya bedanya untuk yang disebut terakhir, kekuasaan berada di tangan partai politik.

C.     Demokratis
Tipe demokratis adalah tipe ketiga yang tampak adanya garis pemisah antara pelapisan yang sifatnya bergerak. Faktor kelahiran tidak menentukan kedudukan seseorang yang terpenting adalah kemampuannya dan kadang-kadang faktor keberuntungan.
Pelapisan sosial berdasarkan kriteria kekuasaan sebenarnya tidak selalu digambarkan dengan hierarkhis atas bawah, tetapi dapat pula digambarkan sebagai gejala melingkar menyerupai lingkaran kambium, yang terdiri dari lingkaran dalam, lingkaran tengah dan lingkaran luar. Lingkaran dalam ditempati oleh mereka yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada mereka yang menempati lingkaran tengah atau luar. Perbedaan diantara lingkaran dalam dan lingkaran di luarnya bukan berarti saling terpisah satu dengan yang lain tetapi terdapat kesalinghubungan yang dinyatakan dengan adanya garis yang tidak terputuskan.
Pelapisan kekuasaan di lingkungan keraton dengan semua tata nilai yang berlaku di dalamnya merupakan salah satu contoh lingkaran kambium. Raja merupakan tokoh sentral yang penuh dengan kekuasaan dari privilege (hak-hak yang istimewa). Kekuasaan dan privilege yang lebih rendah dari yang ada pada raja adalah yang dimiliki oleh para anggota keluarga raja. Semakin jauh dari lingkaran keluarga raja maka semakin berkurang kekuasaannya privilege maupun prestise (kehormatan) yang dimiliki oleh seseorang.



3.2.  Analisis Data
Salah satu aspek kemanusiaan dalam hubungan antara pekerja rumah tangga (PRT) dengan pemberi kerja adalah status sosial PRT dan posisi dominan pemberi kerja terhadap PRT.
Nabila bekerja sebagai PRT pada Yudha, bujangan yang senang berganti-ganti pacar. Sampai suatu ketika Yudha jatuh sakit. Pacar-pacar Yudha dan orangtuanya hanya datang silih berganti membawa buah tangan, sementara Nabila, merawat Yudha siang malam dengan tulus. Seperti cerita dalam sinetron, akhirnya Yudha jatuh cinta kepada PRT-nya itu dan berkeputusan menikahinya. Seperti bisa diduga keluarga besar Yudha yang termasuk keluarga priyayi Jawa itu bereaksi dengan mengucilkan Yudha dan Nabila karena tidak bisa menerima kehadiran seseorang perempuan desa yang tidak berpendidikan.
Ketika anak-anak dari pernikahan Yudha dan Nabila mulai lahir, satu persatu anggota keluarga besar Yudha mulai bersedia menerima Nabila, tetapi Nabila tetap saja memposisikan dirinya lebih rendah daripada mereka. Ia tidak berani menyapa saudara-saudara suaminya, menunggu dipanggil atau diperintah mengerjakan sesuatu. Panggilan itupun dijawabnya dalam bahasa Jawa halus “ndalem”, langsung berlari dan bersimpuh ke hadapan pemanggilnya dan menunggu untuk menerima perintah berikut. Akan tetapi Nabila bukan perempuan pasif, ketika dua anaknya semakin besar, yang pertama kini berusia 24 tahun dan kedua duduk di bangku SMU, Nabila sadar ia harus masuk ke dalam keluarga besar suaminya. Ia mendesak Yudha membawa anak mereka berkeliling ke tempat kerabat pada saat Idul Fitri, cara itu rupanya mampu melunakkan hati anggota keluarga besar Yudha sehingga makin banyak yang mau menerima Nabila meskipun hanya sampai batas tertentu. Berbeda dari kebanyakan telenovela atau sinetron yang berakhir dengan happy ending, sampai sekarang Nabila masih mendapatkan perlakuan yang sangat menekan-nekankan pada status awal Nabila. Misalnya, meskipun ia diajak ikut serta dalam arisan keluarga, tetapi anggota keluarga besar Yudha enggan duduk bersebelahan dengan Nabila, pada kesempatan lain ia ditolak ikut menumpang mobil salah seorang anggota arisan dengan alasan mobil sudah penuh walaupun sebenarnya masih ada tempat. Sejauh ini Nabila menerima perlakuan itu dan tetap mengingat asal-usulnya, ternyata tidak mudah menaikkan status sosial untuk seorang PRT.
(Sumber : Info Aktual Swara, Suplemen Kompas No. 62)



BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP


4.1.  Kesimpulan
Dari berbagai teori yang telah disebutkan di dalam bab-bab terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa apabila masyarakat telah membaca paper ini maka akan mengetahui faktor-faktor dasar terbentuknya pelapisan sosial yang telah terjadi dengan sendirinya.
Faktor-faktor yang terjadi dengan sendirinya antara lain :
a.       Kepandaian
b.      Tingkat umur
c.       Sifat keaslian keanggotaan di dalam kerabat pimpinan masyarakat,
misalnya : (cikal bakal, kepala desa dan sebagainya).
d.      Pemilikan harta

Sedangkan bentuk-bentuk yang terjadi di dalam masyarakat dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
a.       Pelapisan sosial berdasarkan pada kriteria ekonomi
b.      Pelapisan sosial berdasarkan pada kriteria sosial
c.       Pelapisan sosial berdasarkan pada kriteria politik

Di samping itu masyarakat juga dapat mengetahui sistem-sistem pelapisan sosial yang menempatkan masing-masing warga masyarakat pada status dan peran sosial tertentu.
Sistem-sistem pelapisan sosial antara lain :
a.       Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif
b.      Sistem pertentangan yang diciptakan oleh para warga masyarakat
c.       Kriteria sistem pertentangan
d.      Lambang-lambang kedudukan
e.       Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan
f.       Solidaritas atas individu atau kelompok sosial yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat

4.2.  Penutup
Penulis mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt yang telah memberikan taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan paper yang berjudul “PENGARUH PELAPISAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT” sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan paper ini yang penulis sajikan ke tangan pembaca masih sangat banyak kekurangan, baik dari segi penyajian maupun analisisnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan paper selanjutnya.
Akhirnya hanya keridhaannya Allah yang penulis dambakan, semoga rahmat dan hidayah-Nya senantiasa dilimpahkan kepada kita semua, semoga paper yang penulis sajikan ini memberikan manfaat bagi semua pembacanya. Amin Ya Robbal Alamin.



DAFTAR PUSTAKA


1.      Rahman Dhohir Taufik, Wartono Tarsisius, dkk. 2000. Sosiologi XI SMU. Jakarta : Yudhistira.
2.      http://www.google.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar