1.
Latar
Belakang
Saat ini seiring dengan
berkembangnya tuntutan agar pelayanan administrasi yang diberikan oleh
penyelenggara pemerintahan tersebut haruslah pelayanan yang prima yang
mempunyai sistem pelayanan yang berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa
dan dapat memberikan kepuasan kepada pengguna jasa tersebut sehingga dapat
dikatakan penyelenggaraan pelayanan tersebut berhasil.
Bahwa ukuran keberhasilan
penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan,
kepuasan penerima pelayanan dicapai apabila penerima pelayanan dicapai
memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan.[1]
Masyarakat dan
pemerintah membutuhkan terjadinya suatu sistem keterkaitan dengan membentuk
negara dan pemerintah yang mengatur masyarakat guna melayani kepentingan
rakyat. Gagasan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat terus
mengalami perubahan seiring meningkatnya tuntutan rakyat dan perlembagaan
pemerintah itu sendiri, namun masih belum memuaskan dalam arti posisi masyarakat
dan pemerintah sudah mulai menguntungkan dalam kerangka pelayanan.
Sebagaimana yang di
amanatkan dalam undang-undang nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan bahwa pemerintah wajib memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
kepada setiap penduduk Indonesia serta mencantumkannya dalam setiap dokumen
kependudukan. Selanjutnya, penduduk indonesia juga wajib memiliki Katu Tanda
Pendudu selanjutnya disingkat dengan (KTP). Karena KTP tersebut mempunyai
spesifikasi dan format KTP Nasional dengan pengamanan khusus, sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas
peraturan presiden nomor 26 tahun 2009.
Saat ini juga penerapan
Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dilatar belakangi oleh sistem pembuatan
KTP konvensional di indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih
dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis sistem pelayanan terpadu
yang menghimpun data penduduk dari seluruh indonesia.
Dalam program penerapan
e-KTP tersebut berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) nasional yang untuk
digunakan sebagai identitas jati diri seseorang yang bersifat tunggal dengan
demikian mempermudah penduduk ataupun masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
dari lembaga pemerintah maupun swasta karena tidak lagi memerlukan KTP
setempat.
KTP ini juga wajib
dimiliki bagi warga negara indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) yang memiliki
izin tinggal tetap yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin atau
telah kawin. KTP berlaku selama lima tahun dan tanggal berakhirnya disesuaikan
dengan tanggal dan bulan lahirnya yang bersangkutan.
Sementara itu e-KTP
merupakan kartu tanda penduduk yang baru saja diluncurkan oleh pemerintah yang
salah satu tujuannya untuk mengurangi kerangkapan data dan digencarkan untuk
mencegah teoritis. Selain itu e-KTP mempunyai kelebihan dengan yang terdahulu,
karena e-KTP belum lama diluncurkan dan peralatannya masih terbatas serta
sosialisasinya yang kurang maka belum semua daerah bisa mendapatkan e-KTP
tersebut.
Maka untuk menjelaskan
masalah ini dengan mendalam, maka penulis melakukan penelitian dengan judul : “Implementasi Elektronik Kartu
Tanda Penduduk (E-KTP) Di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal”.
2.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
implementasi elektronik kartu tanda penduduk (e-KTP) di Kecamatan Kotanopan ?
2. Bagaimanakah
peluncuran e-KTP di Kecamatan Kotanopan berlangsung ?
3.
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui implementasi e-KTP di
Kecamatan Kotanopan.
2.
Untuk mengetahui peralatan apa saja yang
dibutuhkan dalam pembuatan e-KTP di
Kecamatan Kotanopan.
4.
Manfaat
Penelitian
Manfaat dari penelitian
ini adalah :
1. Menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai masalah pemerintahan tentang implementasi
Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) di Kecamatan Kotanopan.
2. Bagi
program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, hasil penelitian ini dapat
melengkapi ragam penelitian yang sudah ada dan sebagai tambahan bacaan dan
referensi.
5.
Kerangka
Teori
5.1 Pengertian
Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP)
“Elektronik
Kartu tanda penduduk adalah (e-KTP)
adalah suatu kartu tanda penduduk yang dibuat dari mesin elektronik dan
ditulis dengan data digital”.[2]
e-KTP
ini sengaja di adakan untuk mempermudah pemerintah untuk mengambil data
penduduk, karena dengan e-KTP pemerintah bisa langsung melihat data dari KTP
elektronik tersebut tanpa harus menunggu data yang harus disensus terlebih
dahulu.
Fungsi
e-KTP sebagai berikut :
1. Sebagai
identitas diri.
2. Berlaku
nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin
rekening ke bank dan sebagainya.
3. Mencegah
KTP ganda dan pemalsuan KTP.
5.2 Pelayanan Publik
5.2.1 Pelayanan
Pelayanan
publik adalah serangkaian kata atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain
secara lebih memuaskan berupa produk jasa dengan sejumlah ciri seperti tidak
berwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki, dan pelanggan
lebih cepat berpartisifasi dalam proses mengkonsumsi data.[3]
Sedangkan Dr. Paimin
Napitupulu, M.Si mendefenisikan bahwa pelayanan adalah “suatu usaha untuk
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain”.[4]
5.2.2
Pelayanan Publik
Sebagaimana telah
dikemukakan terlebih dahulu bahwa pada hakikatnya adalah pelayanan kepada
masyarakat. Dan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk
meleyani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampaun dan kreativitasnya demi mencapai tujuan
bersama. Karena birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan layanan baik dan profesional.
“Pelayanan publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.[5]
Pelayanan publik ini
dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan
orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu dengan
aturan pokok dengan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu kondisi
masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, dan
tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik.
5.3
Pengertian Implementasi
Menurut Wayne Persons
“implementasi adalah sebuah proses interaksi antara penentuan tujuan dan
tindakan untuk mencapai tujuan”.[6]
Begitu juga menurut
Oemar Hamalik “implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep,
kebijakan atau inovasi dalam bentuk tindakan praktis sehingga memberikan dampak
baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap”.[7]
6. Metode Penelitian
6. 1
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di kantor Camat Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal.
6. 2
Bentuk Penelitian
Adapaun bentuk
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan penedekatan
analisa deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan kenyataan yang penulis teliti
sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjalankan informasi sewajarnya dalam
kehidupan suatu objek, yang dihubungkan dengan pemecahan masalah yang baik dari
sudut pandang teoritis maupun praktis.
6. 3
Populasi dan Sampel
6. 3.1 Populasi
Populasi menurut para
ahli mendefenisikan antara lain menurut Sugiono: “populasi adalah wilayah generalisai
yang terdiri atas objek/subyek yang mempunyai kualitas dan kerakteristik
tertentu yang ditetapkan yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya”.[8]
“Menurut Hadari Nawawi populasi adalah
sekelompok subyek, baik manusia, gejala, nilai test, benda-benda ataupun
peristiwa.”.[9]
Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Huta
Baringin Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal yaitu sebanyak 285
orang.
6. 3.2 Sampel
Sampel adalah bagian
dari sejumlah dan kerakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Menurut Suharsimi Arikunto mendefenisikan
bahwa “sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti”.[10]
Teknik sampel yang
digunakan adalah random sampling yang dirumuskan Issac dan Micheal dengan
menggunakan tingkat kesalahan 10%, untuk itu sampel di ambil dari sampel
berjumlah 75 orang.
Dimana
:
n :
Sampel
N
: Populasi
d :
Derajat kebebasan
6.4
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah : sebagai berikut:
6.4.1 Pengumpulan data primer, yaitu data yang
diperoleh melalui kegiatan penelitian yang langsung terjun ke lokasi penelitian
untuk mencari data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hal
ini dilakukan melalui wawancara kepada responden.
6.4.2
Pengumpulan data skunder, yaitu diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan dimana dilakukan dengan mempelajari sejumlah tulisan, buku-buku
karangan ilmiah dan dan data yang dipeoleh dengan melakukan studi lapangan.
6.5
Teknik Analisa Data
Untuk menganalisa
data-data yang diperoleh dari lapangan berdasarkan wawancara akan digunakan analisa
tabel tunggal yang disebut tabel frekuensi . Analisa tabel ini dimaksudkan
untuk merinci data-data sekaligus mengajukan presentase dari masing –masing
jawaban responden sehingga akan dapat diketahui data-data yang paling dominan
atau data yang paling besar presentasenya.
[1] Ratminto & Atunarsih, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hal. 21.
[3] Paimin Napitupulu, Pelayanan Publik, PT. Alumni, Bandung,
2007, hal.164
[4] Ibid
[5] Ratminto & Atik Winarsih, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2005, hal. 18
[6]
Wayne Persons, Public Policy, Pranada Media Group, Jakarta,
2006, hal.446
[7] Oemar Hamalik, Dasar-dasar pengembangan Kurikulum, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2009, hal. 237.
[8] Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 90
[9] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah
MadaYogyakarta, 2007, hal. 150
[10] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Praktek, Jakarta,
PT. Rineka Cipta, 2002, hal.109.
2.3. Proses
Terbentuknya Pelapisan Sosial
Mengenai pelapisan sosial yang sengaja disusun untuk
mengejar kepentingan atau tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian
kekuasaan yang resmi misalnya yang terjadi dalam perkumpulan-perkumpulan formal
(seperti pemerintah, negara, perusahaan-perusahaan, partai politik atau perkumpulan
profesi dan lain-lain. Untuk lebih memahami mengenai proses pembentukan
pelapisan sosial ada beberapa pedoman yang dirumuskan oleh Soerjono Soekanto
dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi, Suatu Pengantar” sebagai berikut
:
1.
Sistem pelapisan sosial mungkin berpokok kepada sistem
pertentangan dalam masyarakat.
2.
Sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dianalisis di
dalam ruang
lingkup :
lingkup :
a.
Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif.
b.
Sistem pertentangan yang diciptakan oleh para warga
masyarakat (prestise dan penghargaan)
c.
Kriteria sistem pertentangan yaitu apakah didapat
berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik
wewenang dan kekuasaan.
d.
Lambang-lambang kedudukan misalnya tingkah laku hidup,
cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi dan sebagainya.
e.
Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan.
f.
Solidaritas antara individu atau kelompok sosial yang
menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat. (Drs. Taufik
Rahman Dhohir, 2000)
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang
dihargai maka hal itu merupakan bibit terbentuknya pelapisan sosial. Sesuatu
yang dihargai itu dapat berupa uang atau harta benda, kekuasaan, ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Barang siapa yang dapat memiliki sesuatu yang
dihargai tadi akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang menduduki
pelapisan atas, sebaliknya mereka yang hanya sedikit memiliki atau bahkan sama
sekali tidak memiliki sesuatu yang dihargai tersebut mereka akan dianggap
masyarakat sebagai orang-orang yang menempati pelapisan bawah atau berkedudukan
rendah. Biasanya golongan yang menduduki pelapisan atau tidak hanya memiliki
satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Penempatan orang-orang
kedalam suatu pelapisan di dalam suatu pelapisan sosial bukanlah menggunakan
ukuran yang tunggal melainkan bersifat kumulatif, artinya mereka yang misalnya
mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah kekuasaan dan mungkin
juga kehormatan. (Drs. Taufik Rahman Dhohir, 2000)
2.4. Kriteria
yang Dipakai untuk Menggolongkan Orang dalam Pelapisan
Ukuran atau kriteria yang dipakai untuk menggolongkan
orang dalam pelapisan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Ukuran kekayaan, barang siapa memiliki kekayaan paling
banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat
dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan
yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
2.
Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan
atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi
dalam pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
3.
Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati
akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini
biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua
atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran
kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
4.
Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan
sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial didalam
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitif.
Oleh karena itu, masih ada ukuran lain yang dapat dipergunakan. Namun, ukuran
di atas lah yang paling banyak digunakan sebagai dasar pembentukan pelapisan
sosial. (Drs. Taufik Rahman Dhohir, 2000)
2.5. Bentuk-bentuk
Pelapisan Sosial dalam Masyarakat
Sedangkan bentuk pelapisan sosial di dalam masyarakat
bentuknya berbeda-beda. Bentuk itu akan dipengaruhi oleh kriteria atau faktor
apa yang dijadikan dasar pelapisan itu, kriteria ekonomi atau kriteria politik.
Pelapisan pada kriteria ekonomi akan membedakan penduduk atau warga masyarakat
menurut penguasaan dan pemilikan materi. Dalam hal ini ada golongan orang-orang
yang didasarkan kepada pemilik tanah dan benda, ada golongan orang yang
didasarkan kepada kegiatan ekonomi dan menggunakan kecakapan sehubungan hal
ini. Pelapisan sosial yang didasarkan pada kriteria ekonomi, akan berkaitan
dengan aktifitas pekerjaan pemilikan atau kedua-duanya dengan kata lain
pendapatan kekayaan dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke dalam
beberapa lapisan atau kelas ekonomi.
Setiap pelapisan dalam stratifikasi ekonomi disebut
kelas-kelas ekonomi atau sering disebut kelas saja. Sehingga para warga
masyarakat atau penduduk masyarakat dapat digolongkan ke dalam beberapa kelas
ekonomi (economic class). Istilah kelas ekonomi mempunyai arti yang
relatif sama dengan istilah kelas sosial (social class) hanya saja
istilah kelas sosial lebih banyak dipakai untuk menunjukkan pelapisan sosial
yang didasarkan atas kriteria sosial, seperti pendidikan atau pekerjaan namun
kadang-kadang kelas-kelas sosial yang diartikan sebagai semua orang yang sadar
akan kedudukannya di dalam suatu pelapisan tanpa membedakan apakah dasar
pelapisan itu uang, pemilikan pekerjaan, kekuasaan atau yang lainnya. Dalam
pembahasan ini kelas ekonomi akan disebut dengan kelas saja sehingga secara
garis besar terdapat tiga kelas sosial, kelas atas, kelas menengah, kelas bawah.
Pelapisan sosial berdasarkan kriteria sosial, dengan
memahami pelapisan masyarakat berdasarkan kriteria sosial orang akan mudah
memahami peristiwa atau gejala-gejala yang terjadi di dalam masyarakat. Semua
ini berhubungan dengan apa yang disebut prestise atau gengsi. Suatu pekerjaan
bagi seseorang tidak sekedar berhubungan dengan berapa jumlah uang yang
diterima sebagai gaji namun juga status sosial yang dinikmati melalui pekerjaan
orang itu. Contoh seorang karyawan atau pegawai suatu departemen walau hanya
duduk di ruang jaga setiap hari untuk membuat daftar nama tamu dan menerima
kiriman surat serta barang melalui pos atau perusahaan jasa titipan, ia akan
menikmati suatu status sosial yang lebih tinggi daripada seorang tukang becak
yang biarpun mempunyai pendapatan yang lebih tinggi namun harus melakukan
pekerjaan yang kurang bergengsi. Demikianlah pelapisan masyarakat yang
didasarkan pada kriteria sosial akan berhubungan dengan status atau kedudukan
seseorang dalam masyarakat.
Ralph Linton dalam bukunya yang berjudul The Study
of Man menuliskan definisi status sebagai berikut : “In the abstract, is
a particular pattern” artinya secara abstrak yaitu kedudukan berarti tempat
seseorang dalam suatu pola hubungan sosial tertentu. (Selo Soemardjan, 1974 dan
Soekanto, 1983)
Pelapisan sosial berdasarkan kriteria politik ialah
pembedaan kedudukan atau warga masyarakat menurut pembagian kekuasaan. Sebagai
dasar pembentukan pelapisan sosial, kekuasaan berbeda dari kriteria lain yaitu
ekonomi dan kedudukan sosial, apabila masyarakat menginginkan kehidupan yang
teratur, maka kekuasaan yang ada padanya harus pula dibagi-bagi dengan teratur.
Apabila kekuasaan tidak dibagi-bagi secara teratur, maka kemungkinan besar di
dalam masyarakat akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan
keutuhan masyarakat.
Bentuk-bentuk kekuasaan pada berbagai masyarakat di
dunia ini beraneka macam dengan masing-masing polanya, akan tetapi ada satu
pola umum bahwa sistem kekuasaan akan selalu menyesuaikan diri dengan adat istiadat
dan pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Garis batas ini
menimbulkan pelapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yang didasarkan pada
rasa kekhawatiran para warga masyarakat akan terjadinya disintegrasi masyarakat
apabila tidak ada kekuasaan yang menguasainya. (Drs. Taufik Rahman Dhohir :
2000)
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
3.1. Penyajian
Data
Menurut Mac Iver, ada tiga pola umum sistem pelapisan
kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu tipe kasta, oligarkhis, dan
demokratis.
A.
Tipe Kasta
Tipe kasta memiliki sistem pelapisan kekuasaan dengan
garis pemisahan yang kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat
berkasta yang hampir tidak dijumpai dalam gerak vertikal. Garis pemisah antara
masing-masing pelapisan hampir tidak mungkin ditembus. Pada puncak piramida
kekuasaan duduk penguasa tertinggi, misalnya : raja atau maharaja dengan
lingkungannya yang didukung oleh kaum bangsawan, tentara, dan para pendeta.
Lapisan kedua dihuni oleh para petani dan buruh tani, dan pelapisan terendah
terdiri dari para budak.
B.
Oligarkhis
Tipe oligarkhis memiliki tipe pelapisan kekuasaan
yang menggambarkan garis pemisah yang tegas diantaranya pelapisan akan tetapi
perbedaan antara pelapisan satu dengan yang lain tidak begitu mencolok walaupun
kedudukan para warga masyarakat masih banyak didasarkan kepada aspek kelahiran
(ascribed status), akan tetapi kepada individu masih diberikan
kesempatan untuk naik ke pelapisan yang lebih atas.
Kelas menengah mempunyai warga yang paling banyak
seperti industri perdagangan dan keuangan memang peran yang lebih penting. Ada
bermacam-macam cara bagi warga dari pelapisan bawah naik ke pelapisan yang
lebih atas dan juga ada kesempatan bagi warga kelas menengah untuk menjadi
penguasa. Suatu variasi dari tipe oligarkhis ini adalah pelapisan yang terdapat
pada negara yang didasarkan pada fasisme atau juga negara totaliter. Hanya
bedanya untuk yang disebut terakhir, kekuasaan berada di tangan partai politik.
C.
Demokratis
Tipe demokratis adalah tipe ketiga yang tampak adanya
garis pemisah antara pelapisan yang sifatnya bergerak. Faktor kelahiran tidak
menentukan kedudukan seseorang yang terpenting adalah kemampuannya dan
kadang-kadang faktor keberuntungan.
Pelapisan sosial berdasarkan kriteria kekuasaan
sebenarnya tidak selalu digambarkan dengan hierarkhis atas bawah, tetapi dapat
pula digambarkan sebagai gejala melingkar menyerupai lingkaran kambium, yang
terdiri dari lingkaran dalam, lingkaran tengah dan lingkaran luar. Lingkaran
dalam ditempati oleh mereka yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada
mereka yang menempati lingkaran tengah atau luar. Perbedaan diantara lingkaran
dalam dan lingkaran di luarnya bukan berarti saling terpisah satu dengan yang
lain tetapi terdapat kesalinghubungan yang dinyatakan dengan adanya garis yang
tidak terputuskan.
Pelapisan kekuasaan di lingkungan keraton dengan
semua tata nilai yang berlaku di dalamnya merupakan salah satu contoh lingkaran
kambium. Raja merupakan tokoh sentral yang penuh dengan kekuasaan dari privilege
(hak-hak yang istimewa). Kekuasaan dan privilege yang lebih rendah dari
yang ada pada raja adalah yang dimiliki oleh para anggota keluarga raja.
Semakin jauh dari lingkaran keluarga raja maka semakin berkurang kekuasaannya privilege
maupun prestise (kehormatan) yang dimiliki oleh seseorang.
3.2. Analisis
Data
Salah satu aspek kemanusiaan dalam hubungan antara
pekerja rumah tangga (PRT) dengan pemberi kerja adalah status sosial PRT dan
posisi dominan pemberi kerja terhadap PRT.
Nabila bekerja sebagai PRT pada Yudha, bujangan yang
senang berganti-ganti pacar. Sampai suatu ketika Yudha jatuh sakit. Pacar-pacar
Yudha dan orangtuanya hanya datang silih berganti membawa buah tangan,
sementara Nabila, merawat Yudha siang malam dengan tulus. Seperti cerita dalam
sinetron, akhirnya Yudha jatuh cinta kepada PRT-nya itu dan berkeputusan
menikahinya. Seperti bisa diduga keluarga besar Yudha yang termasuk keluarga
priyayi Jawa itu bereaksi dengan mengucilkan Yudha dan Nabila karena tidak bisa
menerima kehadiran seseorang perempuan desa yang tidak berpendidikan.
Ketika anak-anak dari pernikahan Yudha dan Nabila
mulai lahir, satu persatu anggota keluarga besar Yudha mulai bersedia menerima
Nabila, tetapi Nabila tetap saja memposisikan dirinya lebih rendah daripada
mereka. Ia tidak berani menyapa saudara-saudara suaminya, menunggu dipanggil
atau diperintah mengerjakan sesuatu. Panggilan itupun dijawabnya dalam bahasa
Jawa halus “ndalem”, langsung berlari dan bersimpuh ke hadapan
pemanggilnya dan menunggu untuk menerima perintah berikut. Akan tetapi Nabila
bukan perempuan pasif, ketika dua anaknya semakin besar, yang pertama kini
berusia 24 tahun dan kedua duduk di bangku SMU, Nabila sadar ia harus masuk ke
dalam keluarga besar suaminya. Ia mendesak Yudha membawa anak mereka
berkeliling ke tempat kerabat pada saat Idul Fitri, cara itu rupanya mampu
melunakkan hati anggota keluarga besar Yudha sehingga makin banyak yang mau
menerima Nabila meskipun hanya sampai batas tertentu. Berbeda dari kebanyakan
telenovela atau sinetron yang berakhir dengan happy ending, sampai
sekarang Nabila masih mendapatkan perlakuan yang sangat menekan-nekankan pada
status awal Nabila. Misalnya, meskipun ia diajak ikut serta dalam arisan
keluarga, tetapi anggota keluarga besar Yudha enggan duduk bersebelahan dengan Nabila,
pada kesempatan lain ia ditolak ikut menumpang mobil salah seorang anggota
arisan dengan alasan mobil sudah penuh walaupun sebenarnya masih ada tempat.
Sejauh ini Nabila menerima perlakuan itu dan tetap mengingat asal-usulnya,
ternyata tidak mudah menaikkan status sosial untuk seorang PRT.
(Sumber : Info Aktual Swara, Suplemen Kompas No. 62)
BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari berbagai teori yang telah disebutkan di dalam
bab-bab terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa apabila masyarakat telah
membaca paper ini maka akan mengetahui faktor-faktor dasar terbentuknya
pelapisan sosial yang telah terjadi dengan sendirinya.
Faktor-faktor yang terjadi dengan sendirinya antara lain :
a.
Kepandaian
b.
Tingkat umur
c.
Sifat keaslian keanggotaan di dalam kerabat pimpinan
masyarakat,
misalnya : (cikal bakal, kepala desa dan sebagainya).
misalnya : (cikal bakal, kepala desa dan sebagainya).
d.
Pemilikan harta
Sedangkan bentuk-bentuk yang terjadi di dalam
masyarakat dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
a.
Pelapisan sosial berdasarkan pada kriteria ekonomi
b.
Pelapisan sosial berdasarkan pada kriteria sosial
c.
Pelapisan sosial berdasarkan pada kriteria politik
Di samping itu masyarakat juga dapat mengetahui
sistem-sistem pelapisan sosial yang menempatkan masing-masing warga masyarakat
pada status dan peran sosial tertentu.
Sistem-sistem pelapisan sosial antara lain :
a.
Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif
b.
Sistem pertentangan yang diciptakan oleh para warga
masyarakat
c.
Kriteria sistem pertentangan
d.
Lambang-lambang kedudukan
e.
Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan
f.
Solidaritas atas individu atau kelompok sosial yang
menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat
4.2. Penutup
Penulis mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kepada
Allah Swt yang telah memberikan taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan paper yang berjudul “PENGARUH PELAPISAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN
MASYARAKAT” sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan paper ini
yang penulis sajikan ke tangan pembaca masih sangat banyak kekurangan, baik
dari segi penyajian maupun analisisnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan paper selanjutnya.
Akhirnya hanya keridhaannya Allah yang penulis
dambakan, semoga rahmat dan hidayah-Nya senantiasa dilimpahkan kepada kita
semua, semoga paper yang penulis sajikan ini memberikan manfaat bagi semua
pembacanya. Amin Ya Robbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rahman Dhohir Taufik, Wartono Tarsisius, dkk. 2000. Sosiologi
XI SMU. Jakarta : Yudhistira.
2.
http://www.google.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar